Selasa, 29 Mei 2012

PENERAPAN TEORI KONSTRUKTIVISME DALAM PEMBELAJARAN ORANG DEWASA







Pendahuluan
Salah satu pendekatan yang dalam tiga dakade terakhir dijadikan landasan dalam pengembangan dan penelitian pembelajaran adalah konstruktivisme. Pendekatan ini lebih banyak dibicarakan dalam konteks pembelajaran bagi anak-anak, sementara pembelajaran orang dewasa lebih sering menggunakan pendekatan learning cycle.
Sebagian ahli seperti Kevin Thomson [1] berpendapat bahwa orang dewasa cenderung belajar dengan cepat tanpa terlibat langsung dalam proses refleksi dan elaborasi seperti pada teori konstruktivisme. Ini diantaranya yang menyebabkan jarangnya penerapan konstruktivisme dalam pembelajaran orang dewasa. Namun demikian Perkin[2] memiliki ide berbeda bahwa pada orang dewasa pun terjadi keterlibatan prior knowledge yang dimanipulasi sehingga terbangun pengetahuan baru. Ini memungkinkan adanya peluang penerapan teori konstruktivisme sebagai pendekatan dalam pembelajaran orang dewasa.
Dalam tulisan ini akan didiskusikan sebuah pendekatan pembelajaran orang dewasa sebagai hibridisasi dari teori konstruktivisme dan pembelajaran orang dewasa (adult learning). Di awal tulisan akan dipaparkan terlebih dahulu teori konstruktivisme, kemudian dipaparkan teroi pembelajaran orang dewasa, selanjutnya diskusi titik temu antara kedua teori. Hasil dari diskusi akan berbentuk sebuah model pembelajaran orang dewasa yang konstruktivis.

Konstruktivisme
Salah satu penggagas teori konstruktivisme  adalah John Dewey, Bruner, Jean Piaget dan Vigotsky. Para ahli lainnya yang telah melakukan telaah mendalam mengenai konstruktivisme diantaranya Eleanor Duckworth, George Hein dan Howard Gardener. Dalam pembelajaran sain dan matematika secara khusus pengembangan dan penelitian menenai konstruktivisme diantaranya dilakukan oleh Peret Fensham, Rosalin Driver, Paul Cobb dan lainya.
 Dalam asumsinya Piaget menolak pandangan bahwa belajar merupakan proses pasif menguasai pengetahuan. Menurutnya belajar adalah sebuah proses perubahan dinamik melalui tahapan adaptasi pengalaman baru dengan skema yang sudah dimiliki. Belajar adalah proses mengkonstruksi pengetahuan dengan cara menciptakan dan menguji teori yang sudah ada dengan fakta-fakta baru mengenai realitas.
Salah satu teori Piaget menjelaskan mekanisme belajar. Dalam pandangan Piaget belajar merupakan proses menuju kesetabilan kognitif. Equilibrasi (proses penyeimbangan) terjadi melalui proses adaptasi, yaitu proses mengadaptasi informasi dengan skema pengetahuan yang sudah ada sebelumnya. Proses adaptasi dapat terjadi melalui dua cara yaitu proses asimilasi  dan proses akomodasi (accommodation).
Terjadi proses asimilasi ketika informasi yang diperoleh sebagai hasil mempersepsi sebuah pengalaman cocok dengan skema pengetahuan yang sudah ada dalam struktur kognitif. Jadi informasi yang diperoleh cenderung diterima untuk membangun konstruksi pengetahuan yang lebih lengkap. Kalau dimisalkan skema pengetahuan sebagai data base yang sudah berisi kateigori-kategori tertentu maka ketika ada informasi dari kategori tertentu seperti kategori yang sudah ada pada data base tersebut maka akan terjadi proses asimilasi dimana informasi dietrima dan diproses sebagai data pendukung yang dapat memperkuat data base tersebut. Proses asimilasi dapat digambarkan dengan 
ilustrasi di atas
Proses akomodasi terjadi ketika informasi yang diperoleh tidak cocok dengan skema yang sudah ada. Misalnya memperoleh informasi yang berlawanan dengan apa yang sudah diyakininya. Proses adaptasi ini kemungkinan akan mengalami proses yang alot untuk diterima bahkan

ditolak ketika tidak berhasil mengakomodasinya. Apabila dibandingkan dengan kasus dalam data base, informasi yang diperoleh tidak dapat diterima karena tidak cocok dengan kategori-kategori yang sudah ada sehingga harus membuat kategori baru untuk memasukkannya.
Misalnya ketika anak-anak belajar klasifikasi hewan pantai maka proses belajar yang terjadi pada anak-anak pantai lebih cenderung asimilasi, sedangkan proses belajar yang terjadi pada anak-anak pegunungan mungkin akan lebih banyak yang mengalami proses akomodasi. 
Dalam kenyataannya kedua mekanisme tersebut bisa terjadi sambung menyambung. Hasil sebuah proses akomodasi akan menjadi skema baru dalam struktur kognitif yang akan memfasilitasi proses asimilsi ketika memperoleh pengalaman yang berkaitan dengan skema tersebut.  Dalam kasus anak di pegnungan belajar hewan pantai maka pengetahuan baru hasil akomodasi akan menjadi landasan proses asimilasi pada kegiatan belajar berikutnya. 
Sebagai konsekuensi dari mekanisme tersebut Piaget mengemukakan dua prinsip konstruktivisme mengenai belajar dan pembelajaran (Detken Scheepers, 2000).
a.       Belajar merupakan sebuah proses aktif: pengalaman langsung, berbuat kesalahan, dan mencari penyelesaian merupakan aktivitas vital dalam proses asimilasi dan acomodasi informasi. Bagaimana informasi diungkapkan merupakan bagian penting. Ketikka informasi diperkenalkan sebagai alat intuk menyelesaikan masalah, akan berfungsi sebagai alat dari pada sebaga fakta mati.
b.      Belajar harus menyeluruh, otentik (asli) dan nyata: Makna dibangun melalui interaksi dengan alam sekitar, bukan hasil sebuah latihan yang terisolasi. Dalam pandangan Piaget, berlatih keteramplian seperti pembagian atau penjumlahan merupakan proses belajar yang baik namun sebaiknya anak terlibat dalam kaitan langsung dengan kehidupan sehari-hari seperti berperan sebagai penjaga toko dan sejenisnya. Belajar menyeluruh merupakan kebalikan dari latihan terisolasi.
Prinsip-prinsip tersebut memberikan landasan bagi praktek pembelajaran dan mengarahkan kepada sebuah karakter pembelajaran yang student centered dimana peserta diklat memiliki banyak memiliki otoritas dalam belajar dari pada fasilitator. Dalam proses pembelajaran fasilitator diharapkan berperan sebagai fasilitator belajar yang memberikan kesempatan kepada peserta diklat untuk melakukan perubahan. Selain itu prinsip-prinsip tersebut menegaskan pentingnya mengaitkan proses belajar dengan konteks lingkungan sehingga belajar bukan proses yang terisolasi.
Vigotsky yang terkenal sebagai penggagas konstruktivisme sosial (social constructivism) menegaskan bahwa pengetahuan dibangun oleh seseorang melalui interaksi sosial. Vigotsky menekankan pada pentingnya konteks sosio-kultural dimana proses belajar terjadi. Menuturut vogotsky belajar terjadi melalui interaksi sosial antara peserta diklat dengan peserta diklat dan antara peserta diklat denga fasilitator.
Gagasan ini mengkristal dalam sebuah strategi pembelajaran yang disebut zone of proximal development (ZPD). Pendekatan ini menggambarkan bahwa seseorang membutuhkan bimbingan dari orang yang dianggap kemampuannya lebih tinggi dalam proses belajar. Setiap orang memiliki kemampuan dasar (prior knowledge). Kemampuan tersebut akan meningkat melalui sebuah ruang atau momen (ZPD) dimana dalam momen tersebut terjadi proses peniruan sehingga peniru fasih. Dapat juga dinytakan bahwa ZPD merupakan selisih antara pencapaian yang dapat diperoleh seseorang secara mandiri dengan pencapaian yang diperoleh melalui sebuah pendampingan oleh orang lain (significant other).
Konsep ini dapat digambarkan dengan skema di sampiang. Bidang segi panjang mewakili kemampuan yang belum dikuasai oleh seseorang, sedangkan bidang lonjong kecil menggambarkan kemampouan yang sudah dipahami. Kedua bidang tersebut dihubungkan dengan bidang antara dimana seseorang mengalami proses belajar melalui bimbingan dari oaring lain.
Berdasarkan paparan singkat diatas beberapa hal terkait dengan prinsip pembelajaran dalam konstruktivisme dapat disarikan sebagai berikut:
1.      Belajar merupakan proses aktif (active learning)
2.      Belajar harus melalui pengalaman langsung (real life learning)
3.      Pengetahuan awal (prior knowledge) sangat bermakna karena akan merupakan landasan untuk membangun pengetahuan baru.
4.      Belajar melalui proses penalaran (reasoning process)
5.      Dalam konstruktivisme sosial belajar terjadi melalui interaksi soasial (social interaction).
6.      Pentingnya proses pendampingan dalam belajar (dalam konsep ZPD)
 
Pembelajaran Orang Dewasa
Hodgins[3] mendefinisikan orang dewasa sebagai beriiut: People who are in or about to enter the workforce, sebagai kebalikan dari people who are of traditional school-going age (not in the workforce). Ahli yang dianggap pendahulu melakukan kajian mengenai pembelajaran orang dewasa (adult learning) adalah Eduard Lindeman dan kemudian Malcolm Knowles.
Malcolm Knowles adalah yang pertama kali meluncurkan istilah andragogi sebagai istilah pendekatan pembelajaran orang dewasa (Knowles at al. 1998)[4]. Knowles mengajukan enam prinsip andragogi. Pertama orang dewasa memiliki keinginan belajar yang mandiri. Mereka sudah memiliki engetahuan mengenai bagaimana belajar harus dilakukan, harus belajar seperti apa dan mengapa belajar penting. Kedua orang dewasa bersifat self directed learning. Artinya mereka memiliki teknik dan tujuan belajar. Ketiga orang dewasa memiliki pengalaman yang luas mengenai apa yang dipelajarinya.  Keempat orang dewasa memiliki kesiapn untuk belajar. Kelima ornag dewasa lebih senang belajar bersifat pemecahan masalah. Artinya mereka akan belajar dengan baik ketika apa yang dipelajari terkait dengan konteks keseharian. Keenamorang dewasa memiliki motivasi tinggi untuk belajar, selama apa yang dipelajarinya sesai dengan apa yang mereka harapkan.
Brookfielad[5] mengidentifikasi empat proses belajar yang dilakukan oleh orang dewasa. Pertama orang dewasa belajar melalui proses directed learning dengan cara menentukan sendiri tujuan belajar, mencari sumber sendiri yang disenangi, memilih gaya belajar sendiri dan menilai hasil belajar sendiri. Kedua, orang dewasa belajar melalui proses berpikir reflektif dan critis. Ketiga orang dewasa belajar dengan cara memproses pengalaman menjadi pengetahuan baru. Bagi mereka pengalaman adalah sumber belajar yang sangat berharga. Keempat orang dewasa belajar strategi untuk belajar sukses (learning how to learn). Dengan kemampuan ini orang dewasa akan belajar selama mereka hidup (life long learning).
Selain itu Lieb[6] mengemukakan bahwa orang dewasa belajar terjadi secara individual secara terus menerus sepanjang hidup. Secara manusiawi orang dewasa juga mengalami kekhawatiran ketika terlibat dalam situasi belajar. Lieb juga mengungkapkan bahwa motivasi belajar orang dewasa dipengaruhi oleh tuntutan keluarga dan pekerjaan.
Berdasarkan paparan singkat tersebut teridentifikasi beberapa karakter belajar orang dewasa yaitu:
1.      Belajar dengan cara sendiri (self directed learning)
2.      Refleksi kritis (critical reflection)
3.      Belajar berdasarkan pengalaman (experiential learning)
4.      Belajar sepanjang hayat (life long learning)
5.      Memiliki kekhasan individu (individual differences)
6.      Memiliki motovasi belajar mandiri (motivastion to learn)
7.      Memiliki kesiapan untuk belajar (readiness to learn)
8.      Memiliki pengetahuan dan pengelaman yang banyak
9.      Belajar dengan cara bertukar pengalaman (experience sharing)

Hibridisasi
Dalam kajian singkat sebelumnya telah teridentifikasi karakter dari konstruktivisme dan pembelajaran orang dewasa. Kedua karakter tersebut akan disandingkan untuk mencari apakah terdapat titik temu antara keduanya. Berikut tebal perbandingan antara kedua karakter teersebut:

KONSTRUKTIVISME
PEMBELAJARAN ORANG DEWASA
Belajar merupakan proses aktif (active learning)
Belajar berdasarkan pengalaman (experiential learning)
Belajar harus melalui pengalaman langsung (real life learning)
Pengetahuan awal (prior knowledge) sangat bermakna karena akan merupakan landasan untuk membangun pengetahuan baru.
Memiliki pengetahuan dan pengalaman yang banyak
Belajar melalui proses penalaran (reasoning process)
Refleksi kritis (critical reflection)

Dalam konstruktivisme sosial belajar terjadi melalui interaksi soasial (social interaction).
Belajar dengan cara bertukar pengalaman (experience sharing)
Pentingnya proses pendampingan dalam belajar (dalam konsep ZPD)

Belajar dengan cara sendiri (self directed learning)
Memiliki motovasi belajar mandiri (motivastion to learn)
Belajar sepanjang hayat (life long learning)
Memiliki kesiapan untuk belajar (readiness to learn)
Memiliki kekhasan individu (individual differences)

Melalui tabel terlihat bahwa secara keseluruhan kedua karakter saling komplementer. Artinya orang dewasa juga melakukan proses belajar seperti dalam konsep konstruktivisme.
Beberapa hal yang dapat digarisbawahi dintaranya, pertama orang tua belajar berdasarkan pengalaman. Dalam teori konstruktivisme belajar merupakan proses aktif, bukan sekedar menerima informasi melainkan memprosesnya dan proses tersebut dilakukan melalui pengalaman belajar langsung. Jadi dalam proses belajar orang dewasa, proses belajar terjadi secara aktif melalui refleksi terhadap banyak pengalaman yang telah dilakoninya. Bedanya dengan proses belajar pada anak-anak, orang dewasa sudah memiliki prior knowledge yang lebih banyak sehingga memungkinkan unutk lebih mudah membangun pengetahuan baru, sedangkan pada proses belajar anak-anak prior knowledge yang dimiliki masih terbatas dan konsep dibentuk lebih banyak melalui pengalaman belajar ketika pembelajaran berlangsung.
Kedua disebutkan bahwa dalam kosntruktivisme proses belajar terjadi melalui proses reasoning sedangkan pada orang dewasa proses belajar terjadi melalui refleksi kritis (critical reflection). Menurut Murray dan Kujundzic[7]yang dimaksud dengan critical reflection, adalah the process of analyzing, reconsidering and questioning experiences within a broad context of issues (proses analisis, mempertimbangkan dan mempertanyakan pengalaman dalam kaitan issu yang luas). Ini menunjukkan bahwa proses reasoning menalar merupakan bagian dari proses reflection. Belajar melalui proses reasoning terjadi pada anak-anak karena mereka belum memiliki wawasan yang terlalu luas mengenai konteks budaya, agama dan politik sedangkan pada orang dewasa belajar melaluai refleksi sudah memungkinkan. Jadi dengan demikian proses belajar maalui refleksi bersifat konstruktivis.
Ketiga dalam konstruktivisme sosial disebutkan pentingnya interaksi sosial dan bimbingan orang lain dalam proses menguasai sebuah pengetahuan. Dalam pembelajaran orang dewasa interaksi sosial terjadi dalam bentuk saling berbagi pengetahuan dan pengalaman (experience sharing). Jadi yang pantas dijadikan ciri konstruktivisme dari orang dewasa adalah pembengunan pengetahuan dengan cara berbagi pengalaman dan pengetahuan (experience sharing). Ini terjadi karena orang dewasa memiliki pengalaman dan pengetahuan yang banyak, memiliki motivasi tinggi, belajar secara mandiri serta memiliki kesiapan untuk belajar
Berdasarkan sintesis karakter tersebut dapat dinyatakan bahwa dalam pembelajaran orang dewasa dapat diterapkan pendekatan yang konstruktivistik. Yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah bagaimana model pembelajaran orang dewasa yang konstruktivistik? Tentu saja model-model pembelajaran konstruktivistik untuk orang dewasa harus memiliki kekhasan dari model-model pembelajaran konstruktivistik bagi anak-anak. Jadi kalau dikawinkansilangkan (hibridisasi) akan terjadi sebuah model pembelajaran orang dewasa yang konstruktivistik yaitu hasil perpaduan dari ide konstruktivisme yang menjadi ciri khas adalah prior knowledge, active learning, scial  negotiation dan real life learning. Yang menjadi cirri khas dari pembelajaran orang dewasa adalah belajar melalui proses berbagi (experience sharing), self directed leaning, readiness to learn dan pembelajarn otonom. Model pembelajaran yang dihasilkan akan bersifat belajar berdasarkan pengalaman otentik sebagai hasil dari interaksi sisial (social outhentic learning). Model pembelajaran ini bersifat learner centered, interaktive, kolaborative dan fasilitative.
Model pembelajaran ini mengarah ke penerapan metode indirek dan independen seperti studi kasus (case study), pembelajaran berdasarkan masalah (problem based learning), peta konsep, debating, research based learning dan sejenisnya. Apabila digambarkan dengan skema maka akan terlihat seperti di bawah ini.

 

 Contoh dalam Pembelajaran diklat
Salah satu model pembelajaran yang memiliki karakter tersebut adalah Model 5Es. Model 5Es dikembangkan oleh sebuah lembaga pengembangan kurikulum dan pembelajaran Biologi (Biological Science Curriculum Study (BSCS) yang dieimpin Roger Bybee di Amerika Serikat. Disebut 5Es karena nama setiap langkah dalam model pembelajaran tersebut diawali dengan huruf E, yaitu Engage, Explore, Explain, Elaborate dan Evaluate.
Secara singkat model pembelajaran 5Es dibangun di atas landasan bahwa mempelajari sesuatu yang baru atau mencoba memahami sesuatu yang telah dikenal namun ingin lebih dalam, bukan sebuah proses linear melainkan sebuah proses yang kompleks.  Berdasarkan prinsip tersebut maka fasilitasi yang harus diberikan harus tepat agar peserta diklat belajar melalui langkah yang sistimatis. Dalam proses ini terjadi sebuah reproduksi pengetahuan dan pemahaman baru melalui proses asimilasi atau akomodasi. Proses asimilasi terjadi ketika pengalaman baru hasil eksplorasi sesuai dengan pengetahuan dan pengalaman lama yang sudah dimiliki dan terbentuk bangunan pengetahuan baru yang lebih baik. Akomodasi terjadi ketika pengalaman baru tidak sejalan dengan pengetahuan dan pemahaman lama. Proses ini melibatkan ketidakseimbangan intelektual. Akan terbangun pengetahuan baru ketika berhasil mengubah pengetahuan dan pemahaman yang sudah diyakininya dan disesuaikan dengan fakta yang diperoleh dari pengalaman baru. 
Para konstruktivis menganggap bahwa sebenarnya setiap orang teleh memiliki jawaban atas pertanyaan yang mereka ajukan. Jawaban-jawaban tersebut diperoleh dengan cara mereproduksi pengalaman dan pengetahuan lama yang telah dimilikinya. Namun itu belum meyakinkan sehingga diperlukan sebuah eksplorasi yang dapat memberi mereka pengalaman dan fakta-fakta baru yang lebih meyakinkan sehingga akan menjadikan jawaban lebih masuk akal.
Untuk mendapatkan pengalaman baru ini para peserta diklat harus difasilitasi untuk memperolehnya. Dalam model ini fasilitator  mendorong peserta diklat untuk menyelidiki, mencari dan menggali fenomena hingga misteri terungkap. Hasil eksplorasi tersebut akan disatukan dengan potongan-potongan pengetahuan melalui proses asimilasi atau akomodasi. Potongan demi peotongan yuang kita miliki dihubung-hubunkan dan dibangun menjadi sebuah bangunan pengetahuan baru. Sering terjadi ada potongan-potongan yang tidak nyambung sehingga harus dibunag dan diganti dengan potongan baru.
Proses merekonstruksi tersebut  dilakukan melalui diskusi, kolaborasi, refleksi dan upaya kreatif.  Penggunaan kata-kata, istilah dan label sangat penting dalam proses ini karena akan menentukan kualitas pemahaman yang akan diperoleh. Proses ini sangat individual namun terjadi melalui proses interaksi dengan lingkunagn sekitar. Oleh karena itu pengetahuan dan pemahaman yang terbangun tidak sama antara satu peserta dengan lainnya.
Istilah 5Es merupakan  singkatan dari lima langkah pembelajaran yang setiap langkahnya berawalan huruf E. Kelima langkah tersebut adalah engage, explore, explain, elaborate, evaluate. Lima langkah pembelajaran tersebut dijelaskan seperti di bawah ini.
a.       Engage (libatkan): Pada tahap pertama peserta diklat diberi stimulan untuk masuk kepada suasana misteri yang merangsang rasa penasaran dan diharapkan merumuskan pertanyaan, merumuskan masalah, dan mencoba menghubungkan potongan-potongan pengetahuan yang dimilikinya untuk merumuskan hipotesis. Dalam tahap ini juga boleh peserta diklat merancang sebuah rencana inquiri untuk menjawab pertanyaan yang telah dirumuskan. Harus diyakinkan bahwa dalam tahap awal ini sumua peserta diklat telah terlibat secara langsung.untuk. sehingga memasuki dan mengidentifikasi tugas-tugas instruksional. Sebagai analogi, langkah engage layaknya seperti kegiatan pemasaran sebuah produk. Pembeli tidak akan pernah membeli barang yang ditawarkan ketika mereka tidak tertarik.
b.      Explore (gali): Dalam langkah ini para peserta diklat diberi kesempatan untuk terlibat langsung berinteraksi dengan fenomena yang menjadi tema belajar untuk mengumpulkan data dan pengalaman baru. Mereka mencari tahu sebanyak mungkin apa yang ingin mereka ketahui secara langsung melalui sebuah kerja tim. Kegiatan bisa berupa eksperimen, demonstrasi, wawancara, studi pustaka, observasi lapangan dan lainnya.
c.       Explain (Jelaskan): Pada langkah ketiga peserta diklat melakukan kegiatan penting yaitu membuat abstraksi pengalaman yang diperoleh dalam proses eksplorasi kedalam sebuah tampilan ynag dapat dikomunikasikan. Bahasa menjadi alat dalam menampilkan hasil eksplorasi menjadi paparan yang logis dan sistimatik. Dalam kegiatan ini terjadi komunikasi diantara teman, peserta diklat dengan fasilitator, antara kelompok dan dalam diri peserta diklat sendri.
Melalui diskusi dalam tim dan antar tim mereka, peserta diklat saling mendukung, saling memberi informasi dan saling menjelaskan. Bisa juga terjadi debat karena mereka memperoleh pengalaman yang berbeda. Pada akhirnya setiap orang akan membangun pemahaman masing masing sesuai dengan pengalaman yang diperolehnya. 
Pada proses ini digunakan bahasa sebagai alat berpikir dan menjelaskan hubungan-hubungan antara kejadian satu dengan lainnya. Setiap kejadian diberi label dan masing-masing diberi penjelasan, lalu dihubungkan sehingga menjadi konsep yang utuh. Misalnya penggunaan istilah magnet dengan fenomena sebuah logam yang dapat menarik logam lain. Label “magnet” untuk logam yang dapat menarik logam lain merupakan fungsi dari bahasa yang terekam dalam struktur kognitif menjadi sebuah pengetahuan baru. Bahasa terebut menyatukan pemahaman antara peserta diklat satu dengan peserta diklat lain dalam bentuk share understanding.
d.      Elaborate (padukan):  Pada langkah keempat peserta diklat melebarkan konsep yang mereka telah kuasai, membuat hubungan dengan konsep lain dan mengaitkannya dalam pengalaman sehari-hari. 
e.       Evaluate (menilai). Langkah kelima merupakan on-going diagnostic (diagnose berkelanjutan). Pada tahap ini fasilitator mengukur apakah para peserta diklat telah menguasai pengetahuan dan pemahaman yang diharapkan. Evaluasi dan pengukuran dapat terjadi dalam setiap saat selama pembelajaran berlangsung. Beberapa alat yang dapat digunakan diantaranya: rubrik, observasi dengan cheklis, wawancara peserta diklat, portofolio dengan tujuan tertntu, proyek, produk pemecahan masalah dan embedded assessment. Bukti pengalaman langsung ini lebih berharga  sebagai alat komunikasi antara peserta diklat dng fasilitator.
 
Penutup
Pembelajaran dalam kediklatan harus lebih dinamis dari pada pembelajaran di sekolah. Alasannya karena bagi orang dewasa belajar merupakan sebuah pilihan. Artinya mereka dapat menentukan apakah mereka penting untuk ikut belajar atau tidak dalam sebuah mata diklat, sedangkan bagi anak-anak kadang belajar menjadi sebuah keharusan. Oleh karena itu perlu terus menerus mengeksplorasi strategi baru yang lebih bertenaga (powerful) sehingga peserta diklkat merasa bersemangat dan senang mengikuti diklat. Banyak teori yang belum dieksplorasi untuk strategi pembelajaran diklat selain konstruktivisme. Misalnya teori multiple inttellegence,  hypnoteaching, Neuro Linguistik Programming dan sebagainya. Teori ini kebanyakn baru sebatas dibicarakan. Para widyaiswara kebanyakan baru sebatas tahu dan mencoba-coba. Harus ada upaya eksplorasi untuk menciptakan strategi-strategi pembalajaran baru yang berbeda namun powerful. Semoga hasil eksplorasi terhadap teori konstruktivisme untuk pembelajaran diklat tersu berkembang dan bermanfaat.


[1] Kevin Thomson, Constructivist Curriculum Design for Professional Development: A Review of the Literature. University of Central Florida, http://pegasus.cc.ucf.edu/~kthompso/projects/lit_constructivist.html, 23 April 2012
[2] Perkins, D. (1991). Technology meets constructivism: Do they make a marriage? Educational Technology, 31(5), 18-23.

[3] Hodgins, W. (2000). Into the future: A vision paper. Commission on Technology & Adult Learning: A Joint Project of the American Society for Training & Development and the National Governors’ Association. [On-Line]. Available: http://www.learnativity.com
[4] Knowles M S, Holton III E F and Swanson R A (1998) The adult learner (5th ed) Gulf, Texas
[5] Brookfield S (1995) Adult learrnirig: an overview [on-line] Available: http://nlu.nl.edu/ace/
Resources/Documents/AdultLearning.html. [1999, Feb].
[6] Lieb S (1999) Principles of Adult Learning [On-line] Available: http://www.hcc.hawaii.edu/
intrnet/committees/FacDevCom/guidebk/teachtip/adults-2.htm [1999, Feb].
[7] Murray, M., Kujundzic, N., (2005). Critical Reflection: A Textbook For Critical Thinking. Québec, Canada: McGill-Queen's University Press.