Pendahuluan
Salah
satu pendekatan yang dalam tiga dakade terakhir dijadikan landasan dalam
pengembangan dan penelitian pembelajaran adalah konstruktivisme. Pendekatan ini
lebih banyak dibicarakan dalam konteks pembelajaran bagi anak-anak, sementara
pembelajaran orang dewasa lebih sering menggunakan pendekatan learning cycle.
Sebagian
ahli seperti Kevin Thomson [1]
berpendapat bahwa orang dewasa cenderung belajar dengan cepat tanpa terlibat
langsung dalam proses refleksi dan elaborasi seperti pada teori
konstruktivisme. Ini diantaranya yang menyebabkan jarangnya penerapan
konstruktivisme dalam pembelajaran orang dewasa. Namun demikian Perkin[2]
memiliki ide berbeda bahwa pada orang dewasa pun terjadi keterlibatan prior knowledge yang dimanipulasi
sehingga terbangun pengetahuan baru. Ini memungkinkan adanya peluang penerapan
teori konstruktivisme sebagai pendekatan dalam pembelajaran orang dewasa.
Dalam
tulisan ini akan didiskusikan sebuah pendekatan pembelajaran orang dewasa sebagai
hibridisasi dari teori konstruktivisme dan pembelajaran orang dewasa (adult
learning). Di awal tulisan akan dipaparkan terlebih dahulu teori
konstruktivisme, kemudian dipaparkan teroi pembelajaran orang dewasa,
selanjutnya diskusi titik temu antara kedua teori. Hasil dari diskusi akan
berbentuk sebuah model pembelajaran orang dewasa yang konstruktivis.
Konstruktivisme
Salah satu penggagas teori
konstruktivisme adalah John Dewey,
Bruner, Jean Piaget dan Vigotsky. Para ahli lainnya yang telah melakukan telaah
mendalam mengenai konstruktivisme diantaranya Eleanor Duckworth, George Hein
dan Howard Gardener. Dalam pembelajaran sain dan matematika secara khusus pengembangan
dan penelitian menenai konstruktivisme diantaranya dilakukan oleh Peret
Fensham, Rosalin Driver, Paul Cobb dan lainya.
Dalam asumsinya Piaget menolak pandangan bahwa belajar
merupakan proses pasif menguasai pengetahuan. Menurutnya belajar adalah sebuah
proses perubahan dinamik melalui tahapan adaptasi pengalaman baru dengan skema
yang sudah dimiliki. Belajar adalah proses mengkonstruksi pengetahuan dengan
cara menciptakan dan menguji teori yang sudah ada dengan fakta-fakta baru
mengenai realitas.
Salah satu teori Piaget menjelaskan mekanisme belajar.
Dalam pandangan Piaget belajar merupakan proses menuju kesetabilan kognitif.
Equilibrasi (proses penyeimbangan) terjadi melalui proses adaptasi, yaitu
proses mengadaptasi informasi dengan skema pengetahuan yang sudah ada
sebelumnya. Proses adaptasi dapat terjadi melalui dua cara yaitu proses
asimilasi dan proses akomodasi
(accommodation).
Terjadi proses asimilasi ketika
informasi yang diperoleh sebagai hasil mempersepsi sebuah pengalaman cocok
dengan skema pengetahuan yang sudah ada dalam struktur kognitif. Jadi informasi
yang diperoleh cenderung diterima untuk membangun konstruksi pengetahuan yang
lebih lengkap. Kalau dimisalkan skema pengetahuan sebagai data base yang sudah berisi kateigori-kategori tertentu maka ketika
ada informasi dari kategori tertentu seperti kategori yang sudah ada pada data
base tersebut maka akan terjadi proses asimilasi dimana informasi dietrima dan
diproses sebagai data pendukung yang dapat memperkuat data base tersebut.
Proses asimilasi dapat digambarkan dengan
ilustrasi di atas
Proses akomodasi terjadi ketika
informasi yang diperoleh tidak cocok dengan skema yang sudah ada. Misalnya
memperoleh informasi yang berlawanan dengan apa yang sudah diyakininya. Proses
adaptasi ini kemungkinan akan mengalami proses yang alot untuk diterima bahkan
ditolak ketika tidak berhasil mengakomodasinya. Apabila
dibandingkan dengan kasus dalam data base, informasi yang diperoleh tidak dapat
diterima karena tidak cocok dengan kategori-kategori yang sudah ada sehingga
harus membuat kategori baru untuk memasukkannya.
Misalnya ketika anak-anak belajar
klasifikasi hewan pantai maka proses belajar yang terjadi pada anak-anak pantai
lebih cenderung asimilasi, sedangkan proses belajar yang terjadi pada anak-anak
pegunungan mungkin akan lebih banyak yang mengalami proses akomodasi.
Dalam kenyataannya kedua mekanisme
tersebut bisa terjadi sambung menyambung. Hasil sebuah proses akomodasi akan menjadi
skema baru dalam struktur kognitif yang akan memfasilitasi proses asimilsi
ketika memperoleh pengalaman yang berkaitan dengan skema tersebut. Dalam kasus anak di pegnungan belajar hewan
pantai maka pengetahuan baru hasil akomodasi akan menjadi landasan proses
asimilasi pada kegiatan belajar berikutnya.
Sebagai konsekuensi dari mekanisme
tersebut Piaget mengemukakan dua prinsip konstruktivisme mengenai belajar dan
pembelajaran (Detken Scheepers, 2000).
a. Belajar
merupakan sebuah proses aktif: pengalaman langsung, berbuat kesalahan, dan
mencari penyelesaian merupakan aktivitas vital dalam proses asimilasi dan
acomodasi informasi. Bagaimana informasi diungkapkan merupakan bagian penting.
Ketikka informasi diperkenalkan sebagai alat intuk menyelesaikan masalah, akan
berfungsi sebagai alat dari pada sebaga fakta mati.
b. Belajar
harus menyeluruh, otentik (asli) dan nyata: Makna dibangun melalui interaksi
dengan alam sekitar, bukan hasil sebuah latihan yang terisolasi. Dalam
pandangan Piaget, berlatih keteramplian seperti pembagian atau penjumlahan
merupakan proses belajar yang baik namun sebaiknya anak terlibat dalam kaitan
langsung dengan kehidupan sehari-hari seperti berperan sebagai penjaga toko dan
sejenisnya. Belajar menyeluruh merupakan kebalikan dari latihan terisolasi.
Prinsip-prinsip
tersebut memberikan landasan bagi praktek pembelajaran dan mengarahkan kepada
sebuah karakter pembelajaran yang student
centered dimana peserta diklat memiliki banyak memiliki otoritas dalam
belajar dari pada fasilitator. Dalam proses pembelajaran fasilitator diharapkan
berperan sebagai fasilitator belajar yang memberikan kesempatan kepada peserta
diklat untuk melakukan perubahan. Selain itu prinsip-prinsip tersebut
menegaskan pentingnya mengaitkan proses belajar dengan konteks lingkungan
sehingga belajar bukan proses yang terisolasi.
Vigotsky
yang terkenal sebagai penggagas konstruktivisme sosial (social constructivism) menegaskan
bahwa pengetahuan dibangun oleh seseorang melalui interaksi sosial. Vigotsky
menekankan pada pentingnya konteks sosio-kultural dimana proses belajar
terjadi. Menuturut vogotsky belajar terjadi melalui interaksi sosial antara peserta
diklat dengan peserta diklat dan antara peserta diklat denga fasilitator.
Gagasan ini
mengkristal dalam sebuah strategi pembelajaran yang disebut zone of proximal development (ZPD).
Pendekatan ini menggambarkan bahwa seseorang membutuhkan bimbingan dari orang
yang dianggap kemampuannya lebih tinggi dalam proses belajar. Setiap orang
memiliki kemampuan dasar (prior knowledge). Kemampuan tersebut akan meningkat
melalui sebuah ruang atau momen (ZPD) dimana dalam momen tersebut terjadi proses
peniruan sehingga peniru fasih. Dapat juga dinytakan bahwa ZPD merupakan
selisih antara pencapaian yang dapat diperoleh seseorang secara mandiri dengan
pencapaian yang diperoleh melalui sebuah pendampingan oleh orang lain (significant other).
Konsep
ini dapat digambarkan dengan skema di sampiang. Bidang segi panjang mewakili
kemampuan yang belum dikuasai oleh seseorang, sedangkan bidang lonjong kecil
menggambarkan kemampouan yang sudah dipahami. Kedua bidang tersebut dihubungkan
dengan bidang antara dimana seseorang mengalami proses belajar melalui
bimbingan dari oaring lain.
Berdasarkan
paparan singkat diatas beberapa hal terkait dengan prinsip pembelajaran dalam
konstruktivisme dapat disarikan sebagai berikut:
1.
Belajar
merupakan proses aktif (active learning)
2.
Belajar
harus melalui pengalaman langsung (real
life learning)
3.
Pengetahuan
awal (prior knowledge) sangat
bermakna karena akan merupakan landasan untuk membangun pengetahuan baru.
4.
Belajar
melalui proses penalaran (reasoning
process)
5.
Dalam
konstruktivisme sosial belajar terjadi melalui interaksi soasial (social interaction).
6.
Pentingnya
proses pendampingan dalam belajar (dalam konsep ZPD)
Pembelajaran
Orang Dewasa
Hodgins[3]
mendefinisikan orang dewasa sebagai beriiut: People who are in or about to enter the workforce, sebagai
kebalikan dari people who are of
traditional school-going age (not in the workforce). Ahli yang dianggap
pendahulu melakukan kajian mengenai pembelajaran orang dewasa (adult learning)
adalah Eduard Lindeman dan kemudian Malcolm Knowles.
Malcolm Knowles adalah yang pertama kali meluncurkan
istilah andragogi sebagai istilah
pendekatan pembelajaran orang dewasa (Knowles at al. 1998)[4].
Knowles mengajukan enam prinsip andragogi. Pertama orang dewasa memiliki
keinginan belajar yang mandiri. Mereka sudah memiliki engetahuan mengenai
bagaimana belajar harus dilakukan, harus belajar seperti apa dan mengapa
belajar penting. Kedua orang dewasa bersifat self directed learning. Artinya mereka memiliki teknik dan tujuan belajar.
Ketiga orang dewasa memiliki pengalaman yang luas mengenai apa yang
dipelajarinya. Keempat orang dewasa
memiliki kesiapn untuk belajar. Kelima ornag dewasa lebih senang belajar
bersifat pemecahan masalah. Artinya mereka akan belajar dengan baik ketika apa
yang dipelajari terkait dengan konteks keseharian. Keenamorang dewasa memiliki
motivasi tinggi untuk belajar, selama apa yang dipelajarinya sesai dengan apa
yang mereka harapkan.
Brookfielad[5]
mengidentifikasi empat proses belajar yang dilakukan oleh orang dewasa. Pertama
orang dewasa belajar melalui proses directed learning dengan cara menentukan
sendiri tujuan belajar, mencari sumber sendiri yang disenangi, memilih gaya
belajar sendiri dan menilai hasil belajar sendiri. Kedua, orang dewasa belajar
melalui proses berpikir reflektif dan critis. Ketiga orang dewasa belajar
dengan cara memproses pengalaman menjadi pengetahuan baru. Bagi mereka
pengalaman adalah sumber belajar yang sangat berharga. Keempat orang dewasa
belajar strategi untuk belajar sukses (learning how to learn). Dengan kemampuan
ini orang dewasa akan belajar selama mereka hidup (life long learning).
Selain itu Lieb[6]
mengemukakan bahwa orang dewasa belajar terjadi secara individual secara terus
menerus sepanjang hidup. Secara manusiawi orang dewasa juga mengalami
kekhawatiran ketika terlibat dalam situasi belajar. Lieb juga mengungkapkan
bahwa motivasi belajar orang dewasa dipengaruhi oleh tuntutan keluarga dan
pekerjaan.
Berdasarkan paparan singkat tersebut teridentifikasi
beberapa karakter belajar orang dewasa yaitu:
1. Belajar dengan cara sendiri (self
directed learning)
2. Refleksi kritis (critical
reflection)
3. Belajar berdasarkan pengalaman (experiential
learning)
4. Belajar sepanjang hayat (life long
learning)
5. Memiliki kekhasan individu (individual
differences)
6. Memiliki motovasi belajar mandiri (motivastion
to learn)
7. Memiliki kesiapan untuk belajar (readiness
to learn)
8. Memiliki pengetahuan dan pengelaman yang banyak
9. Belajar dengan cara bertukar pengalaman (experience sharing)
Hibridisasi
Dalam kajian singkat sebelumnya telah
teridentifikasi karakter dari konstruktivisme dan pembelajaran orang dewasa.
Kedua karakter tersebut akan disandingkan untuk mencari apakah terdapat titik
temu antara keduanya. Berikut tebal perbandingan antara kedua karakter
teersebut:
KONSTRUKTIVISME
|
PEMBELAJARAN
ORANG DEWASA
|
Belajar merupakan proses aktif (active learning)
|
Belajar
berdasarkan pengalaman (experiential
learning)
|
Belajar harus melalui pengalaman
langsung (real life learning)
|
|
Pengetahuan awal (prior knowledge) sangat bermakna karena akan merupakan landasan
untuk membangun pengetahuan baru.
|
Memiliki
pengetahuan dan pengalaman yang banyak
|
Belajar melalui proses penalaran (reasoning process)
|
Refleksi
kritis (critical reflection)
|
Dalam konstruktivisme sosial belajar
terjadi melalui interaksi soasial (social
interaction).
|
Belajar
dengan cara bertukar pengalaman (experience
sharing)
|
Pentingnya proses pendampingan dalam
belajar (dalam konsep ZPD)
|
|
|
Belajar
dengan cara sendiri (self directed
learning)
|
Memiliki
motovasi belajar mandiri (motivastion
to learn)
|
|
Belajar
sepanjang hayat (life long learning)
|
|
Memiliki
kesiapan untuk belajar (readiness to
learn)
|
|
Memiliki kekhasan
individu (individual differences)
|
Melalui tabel terlihat bahwa secara keseluruhan kedua
karakter saling komplementer. Artinya orang dewasa juga melakukan proses
belajar seperti dalam konsep konstruktivisme.
Beberapa hal yang dapat digarisbawahi dintaranya, pertama
orang tua belajar berdasarkan pengalaman. Dalam teori konstruktivisme belajar
merupakan proses aktif, bukan sekedar menerima informasi melainkan memprosesnya
dan proses tersebut dilakukan melalui pengalaman belajar langsung. Jadi dalam
proses belajar orang dewasa, proses belajar terjadi secara aktif melalui
refleksi terhadap banyak pengalaman yang telah dilakoninya. Bedanya dengan
proses belajar pada anak-anak, orang dewasa sudah memiliki prior knowledge yang
lebih banyak sehingga memungkinkan unutk lebih mudah membangun pengetahuan baru,
sedangkan pada proses belajar anak-anak prior knowledge yang dimiliki masih
terbatas dan konsep dibentuk lebih banyak melalui pengalaman belajar ketika
pembelajaran berlangsung.
Kedua disebutkan bahwa dalam kosntruktivisme proses
belajar terjadi melalui proses reasoning
sedangkan pada orang dewasa proses belajar terjadi melalui refleksi kritis (critical reflection). Menurut Murray dan Kujundzic[7]yang dimaksud dengan critical
reflection, adalah the process of analyzing,
reconsidering and questioning experiences within a broad context of issues (proses analisis,
mempertimbangkan dan mempertanyakan pengalaman dalam kaitan issu yang luas).
Ini menunjukkan bahwa proses reasoning
menalar merupakan bagian dari proses reflection.
Belajar melalui proses reasoning
terjadi pada anak-anak karena mereka belum memiliki wawasan yang terlalu luas
mengenai konteks budaya, agama dan politik sedangkan pada orang dewasa belajar
melaluai refleksi sudah memungkinkan. Jadi dengan demikian proses belajar
maalui refleksi bersifat konstruktivis.
Ketiga dalam
konstruktivisme sosial disebutkan pentingnya interaksi sosial dan bimbingan
orang lain dalam proses menguasai sebuah pengetahuan. Dalam pembelajaran orang
dewasa interaksi sosial terjadi dalam bentuk saling berbagi pengetahuan dan
pengalaman (experience sharing). Jadi
yang pantas dijadikan ciri konstruktivisme dari orang dewasa adalah pembengunan
pengetahuan dengan cara berbagi pengalaman dan pengetahuan (experience sharing). Ini terjadi karena
orang dewasa memiliki pengalaman dan pengetahuan yang banyak, memiliki motivasi tinggi, belajar secara mandiri serta memiliki kesiapan untuk
belajar
Berdasarkan sintesis karakter tersebut dapat
dinyatakan bahwa dalam pembelajaran orang dewasa dapat diterapkan pendekatan
yang konstruktivistik. Yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah bagaimana
model pembelajaran orang dewasa yang konstruktivistik? Tentu saja model-model
pembelajaran konstruktivistik untuk orang dewasa harus memiliki kekhasan dari
model-model pembelajaran konstruktivistik bagi anak-anak. Jadi kalau
dikawinkansilangkan (hibridisasi) akan
terjadi sebuah model pembelajaran orang dewasa yang konstruktivistik yaitu
hasil perpaduan dari ide konstruktivisme yang menjadi ciri khas adalah prior knowledge, active learning, scial negotiation dan real life learning. Yang menjadi cirri khas dari pembelajaran
orang dewasa adalah belajar melalui proses berbagi (experience sharing), self
directed leaning, readiness to learn dan
pembelajarn otonom. Model
pembelajaran yang dihasilkan akan bersifat belajar berdasarkan pengalaman
otentik sebagai hasil dari interaksi sisial (social outhentic learning). Model pembelajaran ini bersifat learner centered, interaktive, kolaborative
dan fasilitative.
Model pembelajaran ini mengarah ke penerapan metode
indirek dan independen seperti studi kasus (case
study), pembelajaran berdasarkan masalah (problem based learning), peta konsep, debating, research based
learning dan sejenisnya. Apabila digambarkan dengan skema maka akan terlihat
seperti di bawah ini.
Contoh
dalam Pembelajaran diklat
Salah
satu model pembelajaran yang memiliki karakter tersebut adalah Model 5Es. Model
5Es dikembangkan oleh sebuah lembaga pengembangan kurikulum dan pembelajaran
Biologi (Biological Science Curriculum Study (BSCS) yang dieimpin Roger Bybee
di Amerika Serikat. Disebut 5Es
karena nama setiap langkah dalam model pembelajaran tersebut diawali dengan
huruf E, yaitu Engage, Explore, Explain,
Elaborate dan Evaluate.
Secara
singkat model pembelajaran 5Es dibangun di atas landasan bahwa mempelajari
sesuatu yang baru atau mencoba memahami sesuatu yang telah dikenal namun ingin
lebih dalam, bukan sebuah proses linear melainkan sebuah proses yang
kompleks. Berdasarkan prinsip tersebut
maka fasilitasi yang harus diberikan harus tepat agar peserta diklat belajar
melalui langkah yang sistimatis. Dalam proses ini terjadi sebuah reproduksi
pengetahuan dan pemahaman baru melalui proses asimilasi atau akomodasi. Proses
asimilasi terjadi ketika pengalaman baru hasil eksplorasi sesuai dengan
pengetahuan dan pengalaman lama yang sudah dimiliki dan terbentuk bangunan
pengetahuan baru yang lebih baik. Akomodasi terjadi ketika pengalaman baru
tidak sejalan dengan pengetahuan dan pemahaman lama. Proses ini melibatkan
ketidakseimbangan intelektual. Akan terbangun pengetahuan baru ketika berhasil
mengubah pengetahuan dan pemahaman yang sudah diyakininya dan disesuaikan
dengan fakta yang diperoleh dari pengalaman baru.
Para
konstruktivis menganggap bahwa sebenarnya setiap orang teleh memiliki jawaban
atas pertanyaan yang mereka ajukan. Jawaban-jawaban tersebut diperoleh dengan
cara mereproduksi pengalaman dan pengetahuan lama yang telah dimilikinya. Namun
itu belum meyakinkan sehingga diperlukan sebuah eksplorasi yang dapat memberi
mereka pengalaman dan fakta-fakta baru yang lebih meyakinkan sehingga akan
menjadikan jawaban lebih masuk akal.
Untuk
mendapatkan pengalaman baru ini para peserta diklat harus difasilitasi untuk
memperolehnya. Dalam model ini fasilitator
mendorong peserta diklat untuk menyelidiki, mencari dan menggali
fenomena hingga misteri terungkap. Hasil eksplorasi tersebut akan disatukan
dengan potongan-potongan pengetahuan melalui proses asimilasi atau akomodasi.
Potongan demi peotongan yuang kita miliki dihubung-hubunkan dan dibangun
menjadi sebuah bangunan pengetahuan baru. Sering terjadi ada potongan-potongan
yang tidak nyambung sehingga harus dibunag dan diganti dengan potongan baru.
Proses
merekonstruksi tersebut dilakukan
melalui diskusi, kolaborasi, refleksi dan upaya kreatif. Penggunaan kata-kata, istilah dan label
sangat penting dalam proses ini karena akan menentukan kualitas pemahaman yang
akan diperoleh. Proses ini sangat individual namun terjadi melalui proses
interaksi dengan lingkunagn sekitar. Oleh karena itu pengetahuan dan pemahaman
yang terbangun tidak sama antara satu peserta dengan lainnya.
Istilah
5Es merupakan singkatan dari lima
langkah pembelajaran yang setiap langkahnya berawalan huruf E.
Kelima langkah tersebut adalah engage,
explore, explain, elaborate, evaluate. Lima langkah pembelajaran tersebut
dijelaskan seperti di bawah ini.
a.
Engage (libatkan):
Pada tahap pertama peserta diklat diberi stimulan untuk masuk kepada suasana
misteri yang merangsang rasa penasaran dan diharapkan merumuskan pertanyaan,
merumuskan masalah, dan mencoba menghubungkan potongan-potongan pengetahuan
yang dimilikinya untuk merumuskan hipotesis. Dalam tahap ini juga boleh peserta
diklat merancang sebuah rencana inquiri untuk menjawab pertanyaan yang telah
dirumuskan. Harus diyakinkan bahwa dalam tahap awal ini sumua peserta diklat
telah terlibat secara langsung.untuk. sehingga memasuki dan mengidentifikasi
tugas-tugas instruksional. Sebagai analogi, langkah engage layaknya seperti
kegiatan pemasaran sebuah produk. Pembeli tidak akan pernah membeli barang yang
ditawarkan ketika mereka tidak tertarik.
b.
Explore (gali): Dalam
langkah ini para peserta diklat diberi kesempatan untuk terlibat langsung
berinteraksi dengan fenomena yang menjadi tema belajar untuk mengumpulkan data
dan pengalaman baru. Mereka mencari tahu sebanyak mungkin apa yang ingin mereka
ketahui secara langsung melalui sebuah kerja tim. Kegiatan bisa berupa
eksperimen, demonstrasi, wawancara, studi pustaka, observasi lapangan dan
lainnya.
c.
Explain (Jelaskan):
Pada langkah ketiga peserta diklat melakukan kegiatan penting yaitu membuat
abstraksi pengalaman yang diperoleh dalam proses eksplorasi kedalam sebuah
tampilan ynag dapat dikomunikasikan. Bahasa menjadi alat dalam menampilkan
hasil eksplorasi menjadi paparan yang logis dan sistimatik. Dalam kegiatan ini
terjadi komunikasi diantara teman, peserta diklat dengan fasilitator, antara
kelompok dan dalam diri peserta diklat sendri.
Melalui diskusi dalam tim dan antar tim mereka, peserta diklat saling
mendukung, saling memberi informasi dan saling menjelaskan. Bisa juga terjadi
debat karena mereka memperoleh pengalaman yang berbeda. Pada akhirnya setiap
orang akan membangun pemahaman masing masing sesuai dengan pengalaman yang
diperolehnya.
Pada proses ini digunakan bahasa
sebagai alat berpikir dan menjelaskan hubungan-hubungan antara kejadian satu
dengan lainnya. Setiap kejadian diberi label dan masing-masing diberi
penjelasan, lalu dihubungkan sehingga menjadi konsep yang utuh. Misalnya
penggunaan istilah magnet dengan fenomena sebuah logam yang dapat menarik logam
lain. Label “magnet” untuk logam yang dapat menarik logam lain merupakan fungsi
dari bahasa yang terekam dalam struktur kognitif menjadi sebuah pengetahuan
baru. Bahasa terebut menyatukan pemahaman antara peserta diklat satu dengan peserta
diklat lain dalam bentuk share understanding.
d.
Elaborate (padukan): Pada langkah keempat peserta diklat
melebarkan konsep yang mereka telah kuasai, membuat hubungan dengan konsep lain
dan mengaitkannya dalam pengalaman sehari-hari.
e.
Evaluate (menilai).
Langkah kelima merupakan on-going diagnostic
(diagnose berkelanjutan). Pada tahap ini fasilitator mengukur apakah para peserta
diklat telah menguasai pengetahuan dan pemahaman yang diharapkan. Evaluasi dan
pengukuran dapat terjadi dalam setiap saat selama pembelajaran berlangsung.
Beberapa alat yang dapat digunakan diantaranya: rubrik, observasi dengan cheklis,
wawancara peserta diklat, portofolio dengan tujuan tertntu, proyek, produk
pemecahan masalah dan embedded assessment.
Bukti pengalaman langsung ini lebih berharga
sebagai alat komunikasi antara peserta diklat dng fasilitator.
Penutup
Pembelajaran
dalam kediklatan harus lebih dinamis dari pada pembelajaran di sekolah.
Alasannya karena bagi orang dewasa belajar merupakan sebuah pilihan. Artinya
mereka dapat menentukan apakah mereka penting untuk ikut belajar atau tidak
dalam sebuah mata diklat, sedangkan bagi anak-anak kadang belajar menjadi
sebuah keharusan. Oleh karena itu perlu terus menerus mengeksplorasi strategi
baru yang lebih bertenaga (powerful)
sehingga peserta diklkat merasa bersemangat dan senang mengikuti diklat. Banyak
teori yang belum dieksplorasi untuk strategi pembelajaran diklat selain
konstruktivisme. Misalnya teori multiple
inttellegence, hypnoteaching, Neuro Linguistik Programming dan sebagainya. Teori ini kebanyakn baru
sebatas dibicarakan. Para widyaiswara kebanyakan baru sebatas tahu dan
mencoba-coba. Harus ada upaya eksplorasi untuk menciptakan strategi-strategi
pembalajaran baru yang berbeda namun powerful. Semoga hasil eksplorasi terhadap
teori konstruktivisme untuk pembelajaran diklat tersu berkembang dan
bermanfaat.
[1]
Kevin Thomson, Constructivist Curriculum Design
for Professional Development: A Review of the Literature. University of
Central Florida, http://pegasus.cc.ucf.edu/~kthompso/projects/lit_constructivist.html,
23 April 2012
[2]
Perkins, D. (1991). Technology meets constructivism: Do they make a marriage? Educational
Technology, 31(5), 18-23.
[3]
Hodgins,
W. (2000). Into the future: A vision paper. Commission on Technology &
Adult Learning: A Joint Project of the American Society for Training &
Development and the National Governors’ Association. [On-Line]. Available:
http://www.learnativity.com
[4] Knowles M S,
Holton III E F and Swanson R A (1998) The adult learner (5th ed) Gulf,
Texas
[5] Brookfield S
(1995) Adult learrnirig: an overview [on-line] Available:
http://nlu.nl.edu/ace/
Resources/Documents/AdultLearning.html.
[1999, Feb].
[6] Lieb S (1999) Principles
of Adult Learning [On-line] Available: http://www.hcc.hawaii.edu/
intrnet/committees/FacDevCom/guidebk/teachtip/adults-2.htm
[1999, Feb].
[7]
Murray, M., Kujundzic, N., (2005). Critical Reflection: A Textbook For Critical Thinking.
Québec, Canada: McGill-Queen's University Press.